Oleh : Marjuki
Universitas Qomaruddin Fasilitator Sekolah Penggerak/Gresik, 16 September 2023
Seringkali kita mendengar istilah pembelajaran berpusat pada murid _(student centered)._ Pembelajaran yang betul-betul dapat mengakomodir kebutuhan murid. Pembelajaran yang menganut prinsip bahwa pendidik tahu kebutuhan murid dan tahu cara memenuhi kebutuhan murid. Hal ini sesuai dengan makna pembelajaran berdiferensiasi, yaitu pembelajaran yang dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik di setiap kelas pembelajaran.
Jika pendidik tahu kebutuhan belajar murid-muridnya tentunya banyak persiapan yang dilakukan sebelum pembelajaran. Setiap kelas dapat dipastikan beragam kebutuhan muridnya. Karakteristiknya berbeda-beda, potensinya, minatnya, hobinya, kesukaan, dll. Hal ini tentu meminta pendidik melakukan banyak hal agar dapat memfasilitasi pembelajaran dengan baik. Pendidik pasti repot dan sangat repot sekali. Karena pendidik sudah tahu kebutuhan murid yang beragam, maka pendidik akan melalukan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kebutuhan murid yang beragam.
Keberagaman ini tentu saja harus disikapi dengan bijaksana, dengan elok, dan ikhlas. Agar semua yang disiapkan pendidik tidak sia-sia. Pendidik mulai memikirkan kira-kira medianya apa? Lembar kerja siswa (LKS) seperti apa? Strateginya dan metodeya bagaimana? Bahan ajar? Dan seterusnya menjadi perhatian pendidik. Walaupun apa yang disiapkan pendidik tidak selalu seribet yang dibayangkan. Pendidik bukanlah malaikat terbang, yang bisa ke sana kemari dalam waktu bersamaan saat proses pembelajaran. Pendidik pasti berusaha dapat mengakomodir keberaman murid-muridnya, baik secara klasikal, kelompok, maupun individu.
Fakta di lapangan berbeda, bahkan sangat-sangat berbeda. Tidak sedikit pendidik yang nge-_blank_. Alias masuk kelas pembelajaran tidak memiliki persiapan apa pun. Tidak ingat tapa pun. Tidak tahu tajuan apa masuk kelas pembelajaran. Hal ini sering dijumpai di kelas. Pendidik tidak tahu hari ini mau mengajar apa? Sering bertanya kepada ketua kelas atau murid yang duduk di kelas, “kemarin sampai mana ya materinya?” Dapat dibayangkan si pendidik ini mau ngapain ke kelas pembelajaran, jika konten saja, materi saja tidak tahu.
Di awal pembelajaran tidak melakukan apersepsi, brainstorming, brainwriting, memberikan pertanyaan bermakna, melainkan minta muridnya dapat menunjukkan sampai dimana materinya. Tentu saja si pendidik tetap melakukan ”jurus akrobatik, jurus mabok” agar muridnya tetap taat dan patuh. Yang dipikirkan si pendidik bagaimana dapat menguasai kelas dengan baik walaupun nge_blank_. Kondisi ini harus dilakukan pendidik agar tetap berwibawa, tetap dihargai, dan tetap percaya diri (PD) di depan murid-muridnya.
Dapat dibayangkan betapa mirisnya kelas pembelajaran di suatu lembaga jika memiliki pendidik nge-blank yang jumlahnya tidak sedikit. Memiliki satu pendidik nge-blank saja sudah menjadi masalah besar apalagi lebih dari satu. Apalagi semuanya nge-blank. Sungguh-sungguh miris. Bagaimana mau mengembangkan potensi murid menjadi kompetensi jika yang mau memfasilitasi pembeljaran nge-blank. Tidak tahu kompetensi awal muridnya. Tidak tahu tingkat perkembangan muridnya. Tidak tahu kebutuhan muridnya. Tidak tahu tingkat kesulitan muridnya. Hal ini menjadikan tujuan pendidikan yang mau dicapai masih, “jauh api dari panggang.”
Semoga dapat menjadi pedidik yang dapat mengokomodasi kebutuhan murid, dapat memfasilitasi keberagaman murid, dan dapat mengatasi tingkat kesulitan murid dalam pembelajaran. Semoga kita dapat menjadikan lembaga Pendidikan yang dapat mengurangi pendidik yang nge-blank. Kita dapat memfasilitasi mereka berubah menjadi pendidik yang kompeten.
Salam RVL
Salam Sehat
Salam Telelet
Salam Literasi
Salam Bahagia